Jika kita melihat cara kita meng-aplikasikan Hindu selama ini, adat memang lebih ditonjolkan. Banten (sesajen) yg begitu banyak dan membutuhkan biaya hingga ratusan juta untk sebuah upakara suci, penggunaan binatang-binatang sbg korban dibeli mahal pula, serta "iuran-iuran" ini dan itu untUk adat, yang tentunya ditengah himpitan ekonomi yang sulit saat ini akan makin sangat menyulitkan umat. Selain itu, ini pula titik lemah yg dimanfaatkan misionaris umat lain untuk mengajak berpindah ke agama yg lebih "murah" dan simple, bahkan menjamin Sorga (svarga). Padahal kita ketahui Weda mengajarkan kesederhanaan, "cukup setangkai bunga, setetes air, sebiji buah"(B.G) dan "Bhakti berupa Tattwa (ilmu pngetahuan) lebih bermutu.."
lalu pertanyaannya......
2) Andaikata kita sederhanakan "upakara-upakara" tersebut dgn meng-konversikan dana/biaya upakara adat untuk bantuan sosial Umat (misal pendidikan, membantu yg miskin, membantu yang sakit,dll) apakah Tuhan kira-kira akan memberikan malapetaka "gerubug" / penyakit karena "banten" kurang besar?? (saya banyak melihat pemahaman ttg ketakutan itu bagi umat hindu terutama di Bali). Jika itu prnah terjadi mngkin ada oknum yg bermain, bukan harusnya dipercayai sbg kutukanNya.
3) jika suatu hari ketika kita menjadi generasi Tua, apakah masih akan tetap melakukan pemborosan-pemborosan tsb.. Padahal kita kan sudah kenal diskusi-diskusi terbuka seperti era ini. Sehingga setidaknya pikiran kita bisa lebih terbuka.. atau alangkah lebih baik mngajarkan Tatwa dari kecil thdp anak cucu kita, bukankan Tatwa lbh bermutu (menurut weda)??
4) bukankah Tuhan akan lebih senang jika kita lebih bnyak ber-dhana punia untk kesejahteraan umat ketimbang kita perbanyak dana untk "upakara"?. Seperti dalam BG; "sedekah itu wajib". Dan jika kita menolong sesama itu berarti secara tdak langsung sudah melakukan "Bhakti" kepada Brahman (sbg roh yg utama/tuhan YME) karena telah menolong mreka yg susah, miskin, sengsara, karena dalam diri mreka dan kita terdapat "percikan" kecil dari Brahman itu tadi. gmna mnurut rekan2 yg lain??
Maaf.. ini bukan sebuah cemo'oh atau cela'an, hanya bentuk prihatin saya terhadap banyaknya umat yg gampang berpindah (terutama dalam urusan cinta/prnikahan) akibat lemahnya tatwa itu, bingung ketika dicercal dan di pojokkan oleh non Hindu (saya pernah alami), sehingga goyahlah iman mreka, karena selama ini sangat SEDIKIT sekali pengaplikasian weda, tetapi lebih tonjol ke ADAT. Bisakah adat menjawabnya ke mereka non-hindu?
Budaya pasti 100% harus kita pertahankan dan lestarikan sbg identitas dan kearifan lokal, tetapi harusnya tidak dicampur-adukan dgn ajaran Weda yg riil, sehingga tak muncul kesan "Hindu Bali", "Hindu Jawa", Kaharingan, Tolotang dll.. Maka Hindu akan dikenal sbg Hindu yg SATU, yg Universal untk Semua RAS, Golongan, dll, SANATANA DHARMA. Sehingga Hindu tak kerdil milik suku tertentu saja. Ketika seorang Non-Bali menjadi Hindu, tak harus ikut budaya Bali. Jika perlu tak perlu pakaian adat bali (terutama diluar bali, skalipun suku bali) ketika masuk tempat suci. Biarkanlah yang di Jawa dengan Blangkon & Candinya, Di Toraja dg Sarung Khas & Rumah Tongkonanya, Di Kalimantan (Kaharingan) tetap dgn Balai Basarah nya... untuk itulah Hindu disebut sbg SANATANA DHARMA, tak perlu harus berlabel Agama (maaf mngkin itu frontal).
ADAT yang memang bertentangan dgn Weda/Hindu haruslah dikoreksi. Sekedar info, bahwa di pura kami diluar Bali, ketika ada persembahyangan, tak ada yg merokok dalam pura, tak ada judi bola adil, apalagi sabung ayam, bahkan bnyak yg tak pakai pakaian adat satu suku. Ckup celana kain atau baju yg sopan, bersih atau bahkan batik sebagai bentuk "Ke-universalan Hindu tsb." atau mungkin sebaiknya, tempat suci diluar Bali, mengikuti bangunan khas dari suku setiap daerah (misal tempat suci hindu yg ada di Toraja berbentuk rumah Tongkonan), jadi saat upacara, masing-masing suku menggunakan baju daerahya masing-masing sbg jadi diri & menjaga kearifan lokal di NUSANTARA tercinta ini.
​Salam damai...
DivkaHD