Selama tiga tahun kembalinya saya pada ajaran Dharma, saya belajar tentang bagaimana menempatkan toleransi dan fanatisme dalam porsi yang tepat, sesuai dengan yang Dharma ajarkan. Dengan posisi sedemikian rupa, saya dapat melihat Hindu dari kacamata luar, dan bisa pula melihat yang diluar dari kacamata Hindu. Sebagai manusia yang menolak ekslusifisme, saya tahu Hindu adalah agama yang dikenal memiliki toleransi yang sangat baik. Itu merupakan sebuah nilai lebih. Dan baru satu, dari begitu banyak nilai yang Hindu miliki. Tapi mengapa fakta yang saya temukan di lapangan ternyata malah masih begitu banyak umat Hindu yang masih malu-malu kucing bahkan tidak pede mengenai kekuatan karakternya sendiri? Toleransi tak lagi menjadi toleransi, melainkan hampir mengarah pada kerendah dirian dan ketidak acuhan agama. Sekarang, mari coba kita lihat kembali, supaya kita bisa berbenah.
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini menurut “versi saya”, saya ingin bertanya terlebih dahulu kepada saudara sedharma, apa sie yang Anda banggakan dari Hindu? Apakah upacara-upakaranya yang menarik? Apakah etika-susilanya yang mencakup banyak aspek kehidupan? Ataukah karena tattva-filsafatnya yang kaya? Atau malah tidak memperhatikan? Bahwa ternyata agama Hindu memiliki banyak nilai yang tidak dimiliki ajaran lain, yang ternyata tidak kita sadari? Cuma karena turunan dan syukurnya merasa nyaman sampai saat ini? Nah, disinilah wawasan keluar menjadi penting. Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita punya sesuatu yang patut diperhitungkan? Adalah ketika kita punya nilai pembanding.
Bukan hal baru jika para intelektual Hindu yang nekat mengangkat nilai-nilai pembanding dari ajaran lain, malah mendapat kecaman dari intern umat Hindu sendiri. Rata-rata penyebabnya bisa ditebak, “ini hanya menyulut kebencian”, “tindakan yang sia-sia dan provokatif, cuma mengusik kedamaian umat Hindu yang selama ini tidak menganggap umat lain sebagai musuh”, atau “toh karma itu berjalan, siapa yang bersikap semena-mena pada kita akan mendapat ganjarannya suatu saat nanti”, dan sejenisnya. Sebagai mantan pemeluk salah satu agama abrahamik, saya jadi salting alias salah tingkah menghadapi respon yang seperti ini. Agak geli, tapi juga prihatin. Dulu sikap membanding-bandingkan adalah hal yang lumrah dalam ajaran saya, bahkan harus. Tujuannya adalah untuk meyakini bahwa agama yang dipeluk adalah yang paling benar, dengan menjatuhkan ajaran lain, termasuk Hindu. Sayangnya, sebagian umat Hindu ada yang tidak mau tahu bahwa dirinya selalu dijadikan objek untuk direndahkan. Meskipun pelecehan tersebut dilakukan terang-terangan melalui khotbah terbuka, media cetak, elektronik, dunia maya, bahkan dalam ranah pendidikan. Saya, pada khususnya, berusaha mencerna situasi ini dan mengambil sisi baik dari sikap “membanding-bandingkan”, dan membuang sisi buruknya.
Dan disinilah akhirnya saya mengenal ajaran Dharma, yang menghormati kebenaran dari segala penjuru serta menghargai pluralisme dan kemajemukan. Bukan dalam arti disini benar disana benar semuanya benar berarti disana atau disini sama saja, semua agama sama benarnya. Oh, tentu tidak. Karena mereka yang kita hargai kebenarannya, ternyata belum tentu berpikir sama. Justru karena saya diajar untuk tidak menganggap umat lain sebagai musuh (baca: kafir), saya tetap Hindu sampai sekarang. Dalam kemajemukan seperti inilah kita mengangkat nilai pembanding, yang mau tidak mau, harus membongkar kelemahan umat lain, ajaran lain, dimana tujuannya adalah bukan untuk membenci, melainkan supaya orang Hindu sendiri melek matanya terhadap kelebihan-kelebihan yang mereka punya, sehingga harga dirinya tidak gampang jatuh.
Contoh nyata adalah saya sendiri. Dulu saya termakan dikotomi agama langit vs agama bumi. Yahudi, Nasrani dan Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan dari langit (agama samawi), lainnya adalah agama buatan manusia alias agama bumi (agama ardhi ). Posisi Hindu dulu sangat buruk dimata saya. Saya terbiasa dengan apartheid agama yang menyebut kami orang beriman dan mereka orang kafir. Kini, dalam Hindu, pernahkah saya diajari hal-hal demikian? Tidak. Karena itulah saya, dan Anda, sangat menghargai kearifan Hindu. Dulu, saya pikir hidup begitu sulit, terhimpit oleh kondisi yang ditakdirkan Tuhan. Maka manusia menjadi marah, protes pada Tuhan dan menunjuk Tuhan tidak adil. Kini, dalam Hindu, setelah saya temukan kosep karmaphala dan punarbhawa, apakah saya masih menganggap Tuhan tidak adil? Tidak. Karena itulah, saya, dan Anda, bisa dipuaskan dengan aturan main Hindu. Dulu, saya pikir musibah adalah azab (hukuman/siksa) dari Tuhan di dunia ini, neraka adalah tempat pembalasan paling menyakitkan di akhirat nanti. Musibah bersifat destruktif (pembalasan). Kini dalam Hindu saya memandang musibah bersifat konstruktif (membangun), dimana dari sanalah evolusi spiritual manusia meningkat. Belajar dari pengalaman, belajar dari kesalahan. Reinkarnasi, hidup tidak pernah berakhir. Proses belajar tak pernah berhenti, ujung-ujungnya adalah pulang kepada-Nya, sumber segala sumber, bukan surga yang penuh makanan atau neraka yang berkobar. Maka saya, dan Anda, patut sadar bahwa Hindu mengajarkan banyak nilai lebih untuk membangun manusia-manusia dengan karakter lebih.
See? Disini saya mengangkat nilai pembanding. Sesuatu yang pastinya diperlukan untuk membuat kita semua sadar, bahwa kita memiliki sesuatu yang berharga. Maka, mengapa mesti risih dengan perbandingan? Poin-poin kritis seperti ini jangan dilihat sebagai usaha untuk menjelekkan orang lain, melainkan untuk membuat kita mengenal kekuatan dalam diri sendiri. Selama ini, kita diajar untuk mencintai semua orang, melalui mahavakya Vasudaiva Kutumbakam, maka anggap saja, mereka ibaratnya sama seperti saya dulu, hanya disebabkan oleh ketidak tahuan, tidak lebih. Tidak tahu bahwa kelompok orang yang mereka incar sebagai target konversi ini, ternyata memiliki kualitas yang wajib diperhitungkan. Seandainya nih, seandainyaaaa, mereka mengenal Hindu seperti kini saya mengenal Hindu, tentu ceritanya akan berbeda.
Dan ternyata, disinilah keseimbangan itu dimunculkan. Adalah suatu karakter diri yang luar biasa jika kita mampu untuk tak pernah menganggap orang lain sebagai musuh (baca lagi: kafir), bahkan ketika orang lain justru menganggap kita demikian. Kita menghargai posisi mereka, tanpa harus melemahkan posisi kita sendiri. Bukankah mereka hanya tidak tahu? Seperti saya dulu. So, bagaimana kalau kita buat mereka menjadi tahu? Saat pertanyaan-pertanyaan mulai dilontarkan, kita tahu betul dimana poin untuk dikritisi, sebab kita sudah paham perbedaan diantara “kita” dan “mereka”. Bukan untuk nyari perkara, melainkan sebagai pertahanan, menjaga bargaining position kita supaya tidak mudah dilecehkan orang. Yang paling bagus adalah menggunakannya hanya saat dibutuhkan. Bukan untuk menyerang duluan, cari masalah itu namanya.
Maka inilah kami, yang berusaha membakar semangat kebanggaan umat Hindu dengan mengangkat nilai-nilai pembanding. Memang tidak salah jika dikatakan “untuk apa mencari kelemahan orang, lebih baik mencari kelebihan diri sendiri”. Benar, namun bagaimana kita tahu, jika kita tak pernah membandingkan? Tak perlu gerah dengan perbandingan, selama masih dalam ranah logis, bukan kutukan, kecaman atau caci maki. Hanya orang yang merasa tak mampu mengendalikan hatinya lah, yang tidak berani mengangkat harga dirinya untuk menghadapi tantangan. Jaman telah berubah, rajin mebanten doang tidak terbukti mampu melindungi sraddha dari tekanan missi umat lain. Jangan sungkan untuk membuka wawasan seluas-luasnya tentang karakter di dalam, dan karakter diluar.
Akan tetapi, bagi yang memang betul-betul tidak suka dengan “perbandingan”, bukan berarti tak memiliki andil. Membangun citra positif umat Hindu adalah misi utama. Aspeknya banyak, sekala maupun niskala. Secara sekala berarti meningkatkan kualitas umat dari pendidikan, kesejahteraan, sosial ekonomi dll. Secara niskala berarti meningkatkan kualitas iman kepada Hyang Widhi, melaksanakan trikaya parisuda dan trihita karana, dll. Jagalah jangan sampai citra negatif yang muncul di mata orang lain. Ketidak kompakan internal adalah celah yang sangat potensial untuk dilirik para misionaris pembawa teologi misi. Saya ingin umat Hindu memiliki kebanggaan yang mampu membuat kepalanya tetap tegak sebagai seorang Hindu, dengan mengenali kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Janganlah kita hanya bisa diam ketika dimarginalkan dengan bergumam, “Biarlah, toh semua ada karmanya”, tapi ketika ada perselisihan dengan saudara sendiri, karma dilupakan.
Salam hangat.
OM Santih Santih Santih OM.
(Gentha Apritaura, tinggal di Mataram)