Di awal mula saya meninggalkan desa saya di Bali, lalu ikut merantau ke Sulawesi bersama orang tua, disituah awal mula saya menemukan aneka ragam ras dan suku bangsa, dan tentunya berbagai macam agama dan budaya / kearifan lokal diluar Bali.
Apa yang pernah diajarkan sewaktu saya hidup dan bersekolah di Bali tentag “tolerasi antar umat beragama” maka saat tiba di Sulawesi dan melanjutkan sekolah SLTP, disitulah saya benar-benar mengalami dan mempraktekkannya.
Apa yang pernah diajarkan sewaktu saya hidup dan bersekolah di Bali tentag “tolerasi antar umat beragama” maka saat tiba di Sulawesi dan melanjutkan sekolah SLTP, disitulah saya benar-benar mengalami dan mempraktekkannya.
Dari pergaulan saya dengan berbagai suku dan agama tersebut, maka sedikit wawasan saya terbuka mengenai keberagaman suku di Indonesia, khususnya Sulawesi. Maklum saja sewaktu saya sekolah SD sampai dengan SLTP keas II saya hanya mengenal suku Bali saja, serta rutinitas adat dan upacara keagamaan Hindu yang sudah demikian adanya dari dulu.
Singkat cerita, setelah lulus SLTP, saya melanjutkan sekolah SLTA ke Makassar, di kota yang lumayan besar, dan lebih banyak lagi bertemu keanekaragaman budaya, bahasa, suku, dan agama pastinya. Disekolah SLTA, diantara sekian ratus jumlah siswa, saya menemukan satu orang yang beragama Hindu. Dia berasal dari suku non Bali, yakni suku Bugis asal Sidrap (salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan). Lalu muncul dibenak saya “hmm.. gimana ya Hindu Non-Suku Bali itu??” nah karna kami sering keluar dari kelas setiap kali mata pelajaran agama mayoritas dimulai (sesekali saya iseng ikut), akhirnya kami saling sharing tentang bagaimana cara teman saya ini menjadi Hindu di daerahnya.
Yang menarik dan bikin penasaran usut punya usut, didaerahnya mereka disebut dengan masyarakat Tolotang Kepercayaan terhadap Tuhan YME mereka menyebutnya Dewata SeuwaE dan Uwatta sebagai tokoh yang dihormati. Ini merupakan pengetahun yang baru bagi saya kala itu. Dalam masyarakat Tolotang di kabupaten penghasil beras ini, kelompok masyarakat terbagi menjadi dua, kelompok masyarakat Benteng adalah mereka telah beragama Islam. Dan kelompok Towani Tolotang adalah mereka yang masih menganut keyakinan Tolotang hingga saat ini (diprediksi sekitar 40% di wilayahnya).
Namun awal mula dari dimasukkannya secara administratif kelompok Towani Tolotang kealam agama Hindu, yaitu sejak pemerintahan awal orde baru sekitar tahun 1966, dimana saat itu beberapa aliran kepercayaan kelompok masyarakat lokal tidak diakui oleh pemerintah, maka secara administratif pemerintah mewajibkan memilih salah satu agama resmi kala itu (Islam, Kristen, Hindu, Budha).
Dipilihnya Hindu, saya berfikir buku-buku Hindu yang diterbitkan oleh DEPAG Hindu sejak dulu, tentu sebagian besar mengacu pada hindu yang ada di Bali. Nah disinilah salah satu point penting menurut saya mungkinkah kedepan, buku-buku tersebut dapat diperbaharui agar lebih bersifat universal? Artinya tidak hanya mengacu pada Bali, sekalipun penulisnya adalah orang Bali. Harapan saya buku pelajaran hindu lebih mengacu pada ajaran weda yang riil, agar tidak terkesan “membalinisasi” kearifan lokal dimana ajaran Sanatana Dharma tersebut dikembangkan & dianut.
Di wilayah lain di Sulawesi Selatan khususnya di Toraja kita bisa juga temui hindu Aluk Ta / Aluk Tudolo, dan saya tetap pada harapan kiranya budaya Toraja yang telah dikenal dunia tetap seperti itu adanya, sekalipun ajaran Veda tetap menjadi landasan hidup nantinya, mengingat saat ini telah banyaknya pelajar / mahasiswa yang telah mendapat pendidikan hindu di Kota Makassar, terutama setiap hari minggu di Pura Girinatha, mudah-mudahan tetap berbasis universal mengacu pada Sanatana Dharma.
menrut hemat saya, beberapa suku di Sulawesi Selatan, tidak memiliki "konsonan-vocal" e tetapi E. Sehingga sebaiknya para pengajar / guru-guru hindu maupun pedharma wacana diluar bali khususnya yang ditugaskan di Sidrap ataupun Toraja tidak memaksakan / membaca istilah-istilah hindu seperti cara berbicara orang Bali, misalnya Tri Sandya (dibaca Tri Sandye..), Dharma (dibaca Dharme..), Tri Hita Karana (dibaca Tri Hite Karane) itu agak asing menurut saya / apa lagi orang Sulawesi. Jadi bacalah DharmA, Tri HitA KaranA, PancA SradA, Tri SandyA, dst.. sehingga menjadi universal. (Cobalah sesekali melihat orang Bule, India, ketika membaca ayat-ayat Veda.)
Selain yang telah saya sebutkan diatas, beberapa daerah lain juga kita bisa temui keyakinan;
Parmalim (Sumatera Utara)
Kaharingan (Kalimantan)
Buhun dan Sunda Wiwitan (Jawa)
Wetu Telu (Lombok)
Kejawen (jawa), Tengger, dll..
Sebagai penutup kiranya kita sebagai generasi penerus Weda (maaf walau saya bukan ahlinya) mari kita besama memajukan ajaran suci ini ke seluruh nusantara, dengan cara-cara damai dan universal walau salah satu caranya dengan tulisan sederhana saya ini, mengingat di era internet dan multi media ini, kita bisa saling berbagi pengetahuan Sanatana Dharma yang maha luas ini secara online. Saya yakin anda juga bisa...
Divka HD
Salam sambel, makin docolek makin peace…